Senin, 14 Mei 2012

Menagih Janji Muhaimin

Orde baru sudah lewat. Mestinya sudah tidak ada lagi pembungkaman hak bersuara. Gegap gempita May Day 2012 yang baru saja berlalu, mungkin merupakan salah satu wujud kebebasan itu. Dan buruh bisa menyuarakan tuntutan-tuntutannya. Selanjutnya, sebagai Abdi Rakyat, Presiden dan Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang agak melegakan, dan masih menggema di telinga. Usai 1 Mei, buruh kembali ke tempat mereka bekerja, menjalankan aktifitas seperti biasa. Buruh kembali memasuki persoalan demi persoalan yang tak pernah tuntas – dilanggar hak-haknya berserikat, dibayar murah, tidak mendapat Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dikontrak tanpa prosedural, dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Perlakukan yang tidak manusiawi ini segera dialami oleh Sukarsih, buruh PT. SM Global yang sekaligus pengurus serikat pekerja di perusahaan itu, bernama Serikat Buruh Bangkit. Ia dihukum oleh Jeong Byung Mun, Direktur PT. SM Global berwarga Negara Korea, hanya karena berbicara. Jeong juga melakukan demosi (penurunan jabatan) pada Sukarsih, sedari Quality Control menjadi tukang sapu (PU). Karena menolak demosi yang tidak masuk akal itu, Sukarsih disuruh berdiri di ruang personalia yang sekaligus ruang Jeong, untuk duduk tanpa melakukan apapun. Kejadian bermula ketika Sukarsih, bagian Quality Control (QC) sedang melakukan pekerjaannya, memeriksa jaket rompi bermerk Trespass, yang selanjutnya dibawa ke meja polybag (final). Pada saat itu beberapa QC di bagian polybag sedang tidak sibuk, sehingga membantu Sukarsih. Salah satu dari mereka membawa jaket ke mejanya. Dan tak lama Mr. Jeong lewat di dekat meja tersebut. Melihat jaket yang masih dalam keadaan belum direparasi, Mr. Jeong mendekati Sukarsih dan membentak. Sukarsih memberi penjelasan kenapa jaket tersebut ada di meja polybag, serta menjelaskan bahwa dia akan membawa ke sewing untuk direparasi. Tapi Jeong bertambah marah mendengar Sukarsih menjawab. Tradisi di perusahaan tersebut, kalau Bos Korea sedang marah, pekerja harus diam. Maka, Jeong pun langsung berbalik mendekati Sukarsih dan berkata, ”Ya, kamu omong apa?” ”Baru akan saya reparasi,” kata Sukarsih. Dan muka Jeong memerah. “Ya, kamu ke atas!” perintah Jeong pada Sukarsih. Atas yang dimaksud adalah ruang personalia dan Jeong. Sukarsih disuruh duduk saja di dekat kursi Jeong. Diperlakukan seperti itu tanpa prosedur, Sukarsih menuju meja personalia untuk meminta surat pemutasian dirinya. Tapi mendengar itu Jeong bertambah marah. Dia berdiri dan membentak Sukarsih lagi, “Kamu omong apa? Kamu sudah tidak QC!” “Saya sudah bekerja di sini sejak tahun 1996 sebagai QC. Masalah jaket tadi karena salah paham, dan Mr. Jeong tidak mau mendengar penjelasan saya.” ”Ya, kamu melawan! Kamu jadi PU saja!” Sukarsih menolak pemutasian yang tidak berkeadilan itu. Akhirnya dia disuruh duduk di ruangan itu setiap hari, sejak 2 Mei 2012 hingga sekarang, dan entah sampai kapan. Mutasi ini kesekian kalinya yang dialami Sukarsih sejak ia mendirikan serikat di perusahaan tersebut, pada 2007 bernama Serikat Buruh Bangkit. Sukarsih menjadi Wakil Ketua. Intimidasi dari pemilik maupun Tenaga Kerja Asing di perusahaan tersebut sering dialaminya. Begitu juga dengan pengurus serikat yang lain sejak mereka memberitahukan pendirian serikat. Sejak itu, Sukarsih yang awalnya menjabat QC dipindah ke bagian gosok, ke ruangan bulu bebek, membersihkan kapur, memasukkan stopper, menjadi helper dari line ke line, finishing, dan kembali dipindahkan di bagian QC pada 2011. Tindakan ini dilakukan langsung oleh Mss. Hwang, dan Mr. Jeong. Perintah mutasi yang pertama dilakukan oleh Mss. Hwang, yang jabatannya tidak diketahui jelas oleh pekerja namun ia selalu mengawasi di bagian produksi dan sering membentak-bentak pekerja. Adapun Mss. Kim yang berstatus Direktur PT. SM Global, sejak awal pendirian serikat buruh, langsung mengumpulkan pekerja dan memberi pilihan antara memilih serikat atau perusahaan akan ditutup. Selanjutnya, para pengurus mulai diintimidasi, dan para pekerja yang menjadi anggota diedari pernyataan untuk mengundurkan diri dari serikat, atau tidak diperpanjang konrrak kerjanya. Selain itu, PT. SM Global melalui manajemen juga menolak ajakan berunding yang disampaikan oleh pengurus serikat, meski sudah melakukan pemberitahuan sebelumnya melalui surat, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Pengurus serikat yang datang ke perusahaan untuk berunding dihalang-halangi oleh petugas keamanan, baik secara fisik serta melalui surat penolakan. Dengan tidak adanya kebebasan berserikat, berbagai pelanggaran di perusahaan itu tak tersentuh. Sejak tahun 1995 hingga sekarang, perusahaan banyak melakukan pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu pelanggaran Kebebasan Berserikat, Jamsostek, jam kerja, lembur, dan eksploitasi pekerja, serta upah. Pemilik perusahaan yang berstatus warga negara asing (TKA) juga secara langsung memimpin pekerja dan mencampuri kepersonaliaan, mengatur pekerja, menolak serikat pekerja, menolak hak-hak pekerja, hingga melakukan mutasi-mutasi. Mereka adalah Mss. Kim Myung Sook, Mss. Hwang, dan Mr. Jeong Byung Mun. PT. SM Global adalah sebuah perusahaan garment yang beralamat di Jl. Telesonik No 1 Km 8, kelurahan Jatake, kecamatan Jatiuwung, Kota Tangerang. Direktur perusahaan bernama MR. Jeong Myung Mun dan Mss. Kim Myung Sook, perusahaan PMA (Pemilik Modal Asing), yang berdiri pada tahun 1995, mempekerjakan karyawan kurang lebih 300 orang. PT. SM Global memproduksi pakaian jadi seperti jaket dan celana dengan beberapa merk di antaranya Nike, Adidas, dan sejak akhir Desember 2009 mengerjakan merk GAP (Old Navy). Barang-barang tersebut diekspor ke berbagai Negara seperti Korea, Jepang, India, dll. Padahal Sukarsih dan teman-temannya sudah melaporkan permasalahan ini ke Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang, DPRD Kota Tangerang, Wali Kota, Gubernur Banten, dan Komnas Ham. Tapi tidak ada tindakan apa-apa. Pada akhir 2011, Komnas HAM menyurati Menteri Tanaga Kerja, DPR-RI Komisi IX, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Ombusedman karena ajakan mediasi diabaikan oleh Direktur PT. SM Global. Kini kondisi pekerja di perusahaan PT. SM Global semakin tidak menentu. Keliaran Jeong juga semakin bertambah. Eksploitasi terus dilakukan. Pada 4 Mei 2012, Jeong mengumumkan kepada para pekerja agar hari Sabtu, 5 Mei 2012 pekerja diperintah masuk kerja tidak dibayar, sampai mencapai target. Bagaimana pekerja bisa mendapatkan hak-haknya jika buruh bahkan tidak punya hak bersuara? Bagaimana orang seperti Mr. Jeong mengerti isi Undang-Undang Ketenagakerjaan Republik Indonesia, jika memahami bahasa reparasi saja tidak mengerti? Jawabnya, mari tanyakan pada Menaker Muhaimin Iskandar. Karena di berbagai media ia menyatakan siap menindak tegas hingga ke ijin usaha, jika ada yang melanggar Permenaker Nomor 40 Tahun 2012, tentang pembatasan 19 jabatan yang tidak boleh diduduki Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Tangerang, 8 Mei 2012

Minggu, 19 September 2010

Titipan

Genangan merah mengalir dari kamar pas yang terkunci. Di antara deru mesin dan bunyi klak-klek ratusan dinamo yang diinjak berpasang-pasang kaki. Seorang perempuan tengah baya melangkah gemetar menuju sudut sempit di antara mesin itu. Di sana ia mencoba berjongkok meski tampak tak sempurna. Bunyi sirene meraung-raung menandai jam istirahat tengah hari. Ratusan orang segera berhamburan menuju pintu. Namun ia justru mencari sudut-sudut untuk menyendiri. Sejak pagi ia telah kepayahan bekerja dengan keringat membanjir tak seperti biasanya. Masih di sudut ruangan yang seluruhnya penuh dengan mesin-mesin, keranjang-keranjang plastik berisi pakaian setengah jadi, ketika teman-temannya datang untuk bekerja lagi. Ia tetap diam , seakan tubuhnya menjadi patung yang tak bisa bergerak. Mukanya kian pias. Dan seorang perempuan memberinya minum dan menyuapkan sepotong roti. Perempuan yang sejak tadi sudah memperhatikan dan mencemaskannya. Tak lama ia berjalan ke arah sudut bangunan gedung itu, menuju sebuah pintu. Dan perempuan yang satunya kembali ke mesinnya, menjahit dan menjahit. Menit demi menit berjalan. Si penghitung target berteriak. Dan tangan-tangan dengan kepala menunduk bergerak semakin cepat untuk memenuhi target. Satu sama lain saling melemparkan dan menyambut proses pekerjaan mereka secara estafet. Dari belakang nampak seperti deretan benda yang bergerak-gerak, menyerupai punggung-punggung sapi menarik pedati. Hampir lima menit. Ditandai dengan penghitung target yang berteriak lagi. Dan setiap pelaku produksi memacu kecepatan lebih tinggi. Perempuan yang tadi menyuapkan roti, rasanya ingin berlari tapi dari belakang mesin rekannya terus menghujani buntelan-buntelan kain untuk dipermak. Dan jika ia tetap pergi, akibatnya deretan mesin di line itu akan berhenti. Di setiap line, sistem proses kerja seperti mata rantai. Kemacetan satu orang bisa menghentikan proses berikutnya. Dan itu berarti petaka. Menuju menit ke sepuluh. Hati perempuan itu kian gundah. Ia melirik ke samping kiri dan kanan sebelum mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk memastikan keberadaan mandor. Berbagai praduga memenuhi pikirannya. Jangan-jangan...Duh Gusti...mohon perlindungan. Kini, detik demi detik terasa seperti menghadirkan bayangan telur di ujung mejanya. Meja yang terus bergetar oleh hentakan dinamo yang ia injak. Dan semakin lama seakan telur itu kian cepat menggelinding menuju tepi. Tangannya tetap sibuk menggeser bahan tebal yang sedang dipermaknya. Sesekali digeser, lalu diangkat, sambil dengkulnya bergerak ke samping mengangkat sepatu mesin. Tapi hasil kerjanya tetap tak sempurna. Pikirannya ke mana-mana, denyut jantungnya kian tak teratur, mulutnya terasa kering, tubuhnya berembun oleh keringat dingin. Dan praduga-praduga seakan kian mengental, kian pekat, dan mendekati kebenaran. Jiwanya sangat gelisah, bubrah, seperti bahan yang kena permak berkali-kali di tangannya. *** Sementara, seorang pekerja yang lain saat itu sedang berdiri di depan sebuah WC yang sering mereka sebut kamar pas (pressed body). Karena WC tersebut memang hanya pas untuk satu tubuh saja. Ia sudah lama menunggu dan mulai gelisah. Sudah lebih dari lima menit. Kemudian datang seseorang yang lain. Dan mereka kemudian saling bercakap. Yang satu memutuksan mengetuknya. Tak ada jawaban. Lalu mengetuknya lebih keras. Sunyi. Kemudian mereka menggedornya tetapi tak ada respon dari dalam. Mereka saling memandang, lalu tanpa komando keduanya berteriak agar orang yang ada di dalam keluar. Tapi tak ada suara apapun dari balik pintu itu. akhirnya dua perempuan itu langsung mendorong paksa pintu WC yang dikunci dari dalam. Brak! Pintu terbuka. Darah telah menggenang di sana. Tubuh perempuan dalam posisi menekuk setengah duduk dengan celana jeans yang diperosotkan sebatas lutut. Wajahnya pucat seputih kapas. Dan di depannya, tergeletak bayi merah dengan muka membiru. Sebagian tubuhnya terendam genangan darah. Perempuan yang satu segera menyambar bayi itu. Perempuan yang satunya berteriak-teriak memanggil yang lainnya. Menyadari hal itu perempuan yang berjongkok dengan gerakan cepat segera menutup pintu. Bruk! Satu dari dari perempuan itu tersentak. Ia baru menyadari kebodohannya membiarkan pintu ditarik dari dalam. Tanpa buang waktu ia segera mendorong pintu agar dibuka. ”Buka!” kata perempuan yang di luar. ”Buka! Buka! Buka!” kini orang mulai berdatangan dan ikut berteriak. Dan perempuan di dalam terkulai. Pintu terbuka. Semua ternganga. ”Angkat!” kata salah seorang di antara suara yang riuh.”Berdiri, buka levisnya! Buka celananya!” kata yang lainnya, ”Ikat-ikat!” teriak yang lain lagi, ”Tekan bagian bawah ulu hatinya, biar tak naik ke jantung!” kata seseroang yang baru datang. Ari-ari bayi masih tertinggal di dalam perut. Di antara orang-orang yang berduyun-duyun datang. Perempuan yang tadi menyuapkan roti berlari menyongsong arah. Ia tak tahan melihat darah. Mukanya pucat. Badannya yang besar gemetaran dan hampir terpelanting. Ia merasa tubuhnya limbung. Perempuan itu bernama Ipung. Di pojok gudang, seseroang menarik kain puring yang biasa digunakan sebagai lapisan jaket. Kemudian ia berlari menerobos kerumunan dan membalutkan ke bagian atas pinggang perempuan di dalam WC yang telah telanjang. Darah segar mengucur deras mengubah warna kain. Dan ia berjalan, tertatih, di antara orang-orang yang masih terus menjerit dan memekik. Di atas lantai, jejak kakinya terukir dalam cairan merah. ”Ditangkupin...!”Ditangkupin...!!” kata perempuan bernama Arni, sambil menggerak-gerakkan tangannya yang tretangkup di dada. Dan perempuan yang tertatih itu berhenti, menarik ke atas ujung bagian bawah kain. ”Oiii...! Oii...! Gimana sih kok disuruh jalan?! Suruh yang laki-laki mengangkat!” kata Arni lagi. Ia histeris sambil mengepal-ngepalkan kedua tangan di depan dadanya. Sesuatu nampak tergenggam di tangan kanannya. Teriakannya membuat seseorang yang sedang berlari menoleh ke arahnya. Menyadari apa yang dipegang Arni, mendadak air muka orang itu berubah kelam. Matanya melotot. Hal itu tentu membuat Arni heran. ”Kenapa lu melotot ke gue?!” kata Arni. ”Itu, itu tuh!” kata temannya sambil menengok ke arah satpam yang tak jauh dari tempat mereka. ”Itu apa?!” kata Arni makin aneh melihat sikap temannya. Setengah melompat temannya mendekati Arni dan memekik, ”Hei, nyadar enggak apa yang kamu pegang?? Kamu tuh masih memegang roti! Cepat kantongin, ntar dimarahi satpam kalau ketahuan membawa makanan ke dalam pabrik!” Kini giliran Arni yang kaget. Ia segera memasukkan sepotong roti yang sebagian telah ia makan ketika istirahat tadi. Dan ia segera berlari menyalip rombongan yang menggotong tubuh lemah itu. Ia terus berteriak mencari sopir-sopir perusahaan untuk menghidupkan mesin mobil. *** Di sebuah klinik bersalin terdekat. Perempuan itu menjadi salah satu pasien yang menempati kamar Paviliun Rubby-Pojok Asi. Ada empat perempuan yang sedang terbaring di sana. Masing-masing sedang dikerumuni oleh orang-orang yang memberinya selamat dalam nuansa suka cita. Mungkin ia dari keluarga laki-laki. Juga keluarga prempuan. Juga kerabat dan para sahabat.Ada juga yang ditunggui suaminya yang dalam keadaan seperti itu terlihat menjadi sangat gagah dan dewasa. Dengan lengannya yang kekar dan kikuk, lelaki itu mengangkat sang buah hati sambil sesekali memandang penuh cinta, dan mengelus bahu si perempuan. Ada juga yang lelakinya belum kelihatan, dan barangkali sebentar lagi akan ada drama pertemuan yang penuh haru dan pekik kebahagiaan, sebagai rasa syukur menyambut lahirnya kehidupan. Dan perempuan di pojok berkain puring dalam kesendirian. Sesekali matanya melirik ke bayi di sebelahnya. Dan ia tidak nampak sedih. Arni dan teman-temannya segera menggalang saweran. Bersama Ipung ia mengumpulkan dana. Lembar dua ribuan, seribu, hingga lima ribu rupiah diulurkan oleh mereka yang belum gajian. Semuanya terkumpul Rp 85.500. Kedua orang itu sedikit bernafas lega. Ia kembali menyambangi bayi dan ibunya yang berada di klinik. Dalam rasa yang lebih rileks, ia baru menyadari di lengan perempuan itu masih belepotan darah. ”Kok kamu belum ganti baju sih?” tanya Arni. ”Nggk ada baju. Masih di kontrakan,” jawab perempuan itu. ”Kok anakmu juga nggak pakai baju? Mana kunci kontrakanmu?” ”Kuncinya di dalam tas, ketinggal di pabrik, sama handphone juga.” ”Kamu harus ganti baju tidur dan memakai kain. Biar nanti diambilkan,” kata Arni. Arni segera menghubungi teman-teman yang lain untuk mengantarkan tas perempuan itu. Sebgaian ke kontrakan mengambil baju. Tak lama dua orang yang disuruh mengambil baju sudah kembali. Mereka bercerita bahwa di kontrakan itu tidak ada baju tidur, baju bayi maupun kain. Semuanya hanya celana-celana jeans dan kaos model stretch. Di kamar sepetak itu mereka sudah membuka-buka lipatan dan onggokan kain. Dan hanya menemukan satu T. Sirt bertuliskan Serikat Buruh Bangkit, serta baju hem seragam dari pabrik. Arni menggeleng-gelengkan kepala mendengar penuturan kedua orang tersebut. ”Kenapa kamu tadi bilang punya? Kalau bilang nggak punya, kan nggak harus ke kontrakanmu. Aku bisa minta baju bayi bekas dan kain dari teman-teman kita,” kata Arni dengan nafas yang terasa sesak menahan sedih dan kesal. ”Kamu kan tahu, kalau kamu akan melahirkan dan harusnya punya persiapan baju bayi.” ”Aku kan nggak tahu. Ini kan bayi titipan. Tahu-tahu perutku melendung. Kadang aku yang melendung, kadang saudara kembarku. Tahunya aku masih empat bulan. Kok tiba-tiba sudah keluar,” jawab perempuan itu. Arni memandang perempuan di depannya. Ia tahu bahwa perempuan itu sedang berbohong. Arni dan Ipung sebenarnya sudah lama curiga tentang kehamilannya. Karena mereka sering memperhatikan wajah dan gerak-gerik perempuan itu. Ia sering Nampak pucat, lemah, dan kadang tak nafsu makan. Biasanya, mereka bertiga sering sarapan dan makan siang bersama di bawah pohon di belakang pabrik yang masuk dalam kawasan Jatiuwung Tangerang itu. Sekitar tiga bulan lalu perempuan itu mengeluh sakit dan Ipung mengeriknya. Dan pada saat itu Ipung melihat kaki perempuan itu bengkak. ”Kenapa kakimu bengkak...?” ”Iya, kaki saya bengkak karena kerjanya kan berdiri terus,” jawabnya. ”Iya, saya juga bengkak, karna berdiri terus,” jawab Ipung yang kakinya memang sering bengkak kalau ia mendapat tugas yang mengharuskan berdiri seharian. Saat itu Ipung ingin bertanya tentang kecurigaannya namun ia mengurungkan niatnya. ”Tapi kamu harus makan.” ”Sedang males. Kalau mau mens suka males dan lemes, Mamake,” kata perempuan yang sering memanggil Ipung dengan sebutan Mamake. Di klinik beberapa orang mulai berdatangan. Ada yang penasaran, iba, juga kesal. Salah satu teman akrabnya, mengulurkan pakaian bekas bayi sambil membuang muka. Dengan air mata bercucuran dia berbisik tertahan pada Arni, kalau ia kecewa, sedih dan marah melihat sahabatnya. Badan perempuan itu sampai bergetar menahan rasa yang menyesaki hatinya. Salah seorang yang lain mengaku kesal. Di matanya, perempuan itu tampak ringan seperti tak ada beban. Bahkan rasa simpatinya mendadak hilang ketika ia melihatnya sedang memakan pisang molen sambil menekan-nekan handphone di tangannya. Sepulang dari klinik orang yang kesal itu bercerita tentang rasa herannya kepada teman-temannya. Dan seorang laki-laki menjawab, ”Kalau dia punya suami, kan bisa bermanja-manja dengan suaminya. Karena dia nggak ada tempat bermanja, ya meski sakit dikuat-kuatin! Dia makan pisang karena lapar kali.” Saat itu Arni telah kembali dari klinik. Dengan rasa letih ia membuka pintu rumah petakan. Dan pikirannya menerawang ke perempuan yang ia tinggalkan di klinik. Ia membayangkan masa-masa sembilan bulan lalu ketika dari bulan ke bulan perempuan itu harus menyembunyikan perutnya yang kian membesar. Dan entah bagaimana ia tetap bisa mengenakan kaos stretch dan bercelana jeans. Meski kadang diselingi baju seragam, kadang kaos serikat pekerja, juga kaos bola. Arni tak bisa membayangkan pergulatan psikologi yang luar biasa ketika seorang perempuan hamil dan justru ditinggalkan si lelaki. Sedih, kecewa, amarah, juga putus asa. Dan dalam kehamilan yang kian membesar, setiap hari minimal tiga kali perempuan itu harus mengempiskan perutnya di pintu pemeriskaan (ceck body) yang dilakukan satpam. Semua pekerja diperiksa, diraba-raba di sekitar pinggang dan perutnya untuk memastikan kalau pekerja tak membawa makanan masuk. Di klinik tadi dia bilang telat mens baru empat bulan. Tapi suster di klinik itu bilang kelahiran itu sudah dalam usia kandungan normal, sekitar 9 bulan lebih dua mingguan. Bayinya berbobot 2,7 kg. Sejak lima bulan lalu, Arni dan Ipung sering memperhatikannya. Ia sering sering nungging, berdiri tak sempurna, apalagi jongkok. Dalam menjalankan tugas sebagai Quality Control ia sering menggunakan lutunya untuk berdiri menghadap meja, tempat memeriksa kualitas jahitan. Banyak orang manyayangkan dan menyalahkan perempuan itu. Tapi perempuan itu seperti tak peduli. Celana jeans masih nglumpurk di kolong dipan dengan darah mengering. Seseorang melirik ke ember itu dan menggelengkan kepala sinis. Itu celana yang dipakai ketika proses persalinan di WC pabrik siang tadi. Arni berpikir, siapa yang mau mencucinya? Tak ada siapa-siapa selain dirinya, yang mungkin perlu menunggu tenaganya pulih kembali. Esoknya klinik sudah memperbolehkan perempuan itu pulang. Tapi bayinya belum. Karena bayi kecil itu menderita Hepatitis B dan memerlukan suntikan. Untuk menebus obat itu memerlukan uang sekitar 2 jutaan. Perempuan itu berkemas. Dan sebelum pergi ia melangkah ke tempat bayinya ditidurkan. Ia mengangkat dan menimang anaknya, mengajaknya tertawa sambil memonyong-monyongkan mulutnya. Bahasa khas antara ibu dan anak. Ipung menyaksikannya dari kajauhan sambil menahan tangis dan tawa. “Kenapa perempuan itu seperti tak merasa bersalah dan sedih ya?” kata salah seorang, “Untung dia lahiran di pabrik, kalau di kontrakan mungkin bayinya dicekik ya?” timpal yang lain, “Kok bisa-bisanya mengatakan kalau itu bayi titipan segala, emang nggak kerasa kalau dia perutnya membesar?” Pergunijngan masih terus bergaung melalui sudut-sudut bibir orang-orang sekelilingnya. Semua jawabnya, hanya Tuhan dan perempuan itu yang tahu. Ini ketiga kalinya seorang anak lahir dari rahimnya. Anak pertama lahir dari sebuah pernikahan dengan lelaki satu kampung di Pandeglang sana. Dan rumah tangganya ambruk di tengah jalan. Ia hidup dengan anaknya yang kini sudah SMP. Kemudian ia menikah lagi dengan laki-laki dari Jawa Tengah, dan lahirlah seorang anak, yang sebentar lagi akan memasuki Sekolah Dasar. Tapi ayah anak itu telah kabur kabur bersama adik kandung perempuan itu yang telah dihamilinya. Kala itu adiknya diminta menjaga anaknya ketika pasangan itu bekerja. Dua kali laki-laki datang menawarkan kebahagiaan dan memberi janji. Dan semuanya pergi menumpukkan beban di pundaknya. Seorang diri ia bekerja sebagai buruh pabrik untuk menghidupi kedua anak diasuh oleh neneknya. Bahu membahu bersama orang tuanya di kampung sana, ia menyekolahkan dan memberinya makan kedua anak itu. ”Kenapa masih nggak kapok ya? Sudah dua kali dikhianati tapi kok tak hati-hati juga sama laki-laki?” salah seorang masih berkomentar penuh heran. ”Kenapa nggak KB aja biar tidak hamil ya?” timpal yang lain. ”Sayang ya, cantik-cantik nasibnya kok buruk.” Sebagaimana hidup yang terus berjalan, pergunjingan pun seakan tak pernah berhenti. Andai ia seorang pelacur, mungkin ia lebih berpengalaman soal alat kontrasepsi dibanding teman-temannya itu. Andai ia seorang pelacur, mungkin tak perlu bekerja keras dan menghabiskan waktu di pabrik, demi mengumpulkan rupiah yang ia kirim ke kampung setiap akhir bulan. Dan kalau ia seorang pembohong, mungkin ia tak akan mengarang cerita murahan yang menimbulkan kontradiksi di telinga pendengarnya; katanya titipan, katanya tidak tahu kalau hamil, tapi juga mengakui telat mens empat bulan. Ia perempuan berkulit putih. Lumayan cantik dengan wajah oval, mata agak bundar, dan berambut ikal. Tidak pendek dan tidak terlalu tinggi. Betubuh ramping. Stahun lalu, ia sering bercerita pada teman-temannya kalau ia sedang dekat dengan seorang lelaki yang mengajarinya ngaji, dan selalu memberinya bimbingan. Kadang orang itu bertamu hingga larut malam. Dan menurut teman yang lain, ia juga sering bercerita kalau ia sedang dekat dengan laki-laki yang sangat baik, sangat menyayanginya dan sangat perhatian. Tapi teman-temannya tak ada yang tahu tentang kedua lelaki itu. Dan hingga anak tak berdosa itu terlahir ke dunia, ia hanya bersentuhan dengan jemari ibunya yang lemah. Jemari sang ibu yang hatinya telah meradang. Di klinik itu, pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa ibu dan anak sama-sama positif mengidap Hebatitis B. Dan ketika klinik merujuk ke rumah sakit yang lain, ia memilih membawa anaknya pulang, karena tak bisa membayar perawatan 300 ribu setiap hari dan harga obat yang nilainya sangat tinggi. Sendirian ia harus menanggung semua itu. Termasuk secepatnya mencari kontrakan baru karena pemilik kontrakan yang lama tak mengijinkan lagi rumahnya ditempati. Dalam keletihannya di antara dera dan cela, ia teguh bersikukuh: bahwa anak itu memang titipan. Benar atau salah pernyataan itu tak ada yang tahu. Kata titipan yang seakan-akan bahwa kehamilannya adalah proses gaib, memang terdengar sebagai sandiwara murahan. Barangkali, ia sendiri yang bisa memaknai, bahwa argumentasinya yang tak masuk akal pada orang lain, merupakan puncak rasionya yang tertinggi untuk menghadapi realita. Dan ia yang lebih tahu bahwa ia tidak perlu memaksa siapapun untuk memahami dan memberinya cinta. Termasuk lelaki yang telah berbuat jahat dan meninggalkannya. Sebuah pesan pendek masuk ke HP Ipung. Perempua itu mengatakan, terserah orang bilang apa, dia sudah siap menanggungnya. Dan perempuan itu telah menguatkan hati untuk menjaganya sepenuh yang ia bisa. Titipan. Sebuah ketakrasionalan yang manusiawi dari seorang perempuan yang disergap keputusasaan dan kebingungan, di tengah-tengah lingkungan yang sering mengatasnamakan rasio dan moral, meski terkadang tidak berperikemanusiaan. Jakarta, 26 Juli 2010 (Fiqoh)

Senin, 26 Juli 2010

Menimbang Prestasi

Siang itu, Diar berlari-lari di bawah terik matahari. Kakinya yang telanjang menyepak dan menerjang tanah kering. Menerbangkan debu-debu. Tubuhnya yang dekil terlihat samar dibalik selubungnya. “Ini Om,” katanya, sambil memberikan sebungkus rokok pada seorang penghuni kost. Kembalian uang logam 500-an tak diambil sama si Om dari tangan Diar.

Jumat, 23 Juli 2010

Catatan 29 April di Apartemen

Seharusnya, hukum terlahir dari nurani. Karena nurani, akan melahirkan rasa kemanusiaan, keadilan, yang lebih berarti dari hukum itu sendiri. Namun pagi itu, lagi-lagi terbukti, bahwa hukum menjadi bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa, ketika dijalankan oleh hati yang buta. Ini terjadi di sebuah Apartemen Permata Senayan, bangunan megah di Jl Palmerah Selatan Kav 20A-21, Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ketika itu, kami Serikat Buruh Bangkit, sedang mendampingi kasus para pekerja di bagian kebersihan di sana.

Deklarasi Pinggir Kali

Sore yang panas. Sesekali udara membawa aroma tak sedap dari sungai yang memanjang di belakang rumah kontrakan di Gang Beringin, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Teman-teman Nia Kaniasih, seluruhnya 14 orang telah menunggu di sana. Di antara sesaknya perabotan, mereka duduk berhimpitan. Di kamar itu, mereka memulai sejarah baru. Sejarah ketika manusia dituntut hadir dengan segala keutuhannya. Harapan yang akan dicapai, tantangan yang akan ditempuh. Dan harapan itu baru disadari belakangan ketika ia sudah diambang kehancuran.

Mesin Pemotong Jari

Tangan-tangan yang terkadang lemah selalu melawan lelah. Mereka berpacu dalam rangkaian proses kerja yang tak hanya menguras tenaga, tapi juga membutuhkan kecermatan. Mengangkat dan memasukkan bahan logam ke dalam mesin pembelah. Namun ada kalanya, kesalahan teknis maupun kelengahan terjadi. Dan ketika itu, pekerja harus rela sebagian anggota tubuhnya terpotong di sana. Dede Suhendri adalah salah satunya. Ia berusisa 21 tahun saat itu. Tamat sekolah menengah pertama. Sejak April 2008 ia mulai bekerja di PT Panca Logam Sukses Mandiri, yang memproduksi hand guard dan footring untuk tabung gas bermerk Elpiji, Pertamina, dan berbagai merk lainnya. Lokasinya di kawasan Kapok, Cengkareng, Tangerang. Dede mengoperasikan mesin ukuran sedang yang beratnya kurang lebih 25 ton, untuk membelah lembaran atau flat besi, yang panjangnya berkisar 240 cm, lebar 121 hingga 124 cm. Flat-flat itu dipotong menjadi enam lembar. Lalu dicetak sebagai bahan untuk distemping. Sesudah distemping lalu diuji ulang, diroll, kemudian dipres, ditekuk, digebuk dan disusun, sebagai hand guard, footring yang terhubung dengan kepala tabung. Roda dan gir mesin yang seharusnya memakai penutup, entah kenapa dibiarkan terbuka. Dede tidak mengerti kenapa itu terjadi. Urusan mesin adalah bagian mekanik dan mandor sebagai pengawas. Sebagai pekerja ia hanya bekerja dan bekerja, demi imbalan Rp 27.500 perhari. Nilai itu masih di bawah standar upah yang ditetapkan pemerintah. Namun Dede dan teman-temannya tetap menggeluti pekerjaannya. Hingga di bulan Juni yang naas, jari-jarinya tergilas, ketika tak sengaja tangan Dede menempel di antara gir dan roda. Butuh beberapa menit, para mekanik dan teman-teman yang menolongnya untuk mengambil tangannya dari sana. Ia melihat sekilas, daging putihnya menyembul di sela-sela sarung tangan. Sejak dua bulan lalu, dia telah meninggalkan pekerjaannya itu. Sudah hampir dua tahun, sejak kecelakaan menimpanya, santunan ganti rugi dari perusahaan tak kungjung tiba. Begitu katanya, saat ia datang ke serikat kami, Serikat Buruh Bangkit di Tangerang. “Saya nggak mau kerja lagi karena saya kecewa sama perusahaan. Hanya janji-janji saja. Selain itu karena saya capek sekali. Pekerjaan itu berat. Fungsi tangan saya sudah tak seperti dulu, ” kata Dede. Lalu ia mengisahkan saat dirinya mengalami kecelakaan. “Sakit sekali waktu itu. Dan saya sendirian. Saya numpang sama bibi. Bibi bekerja di pabrik juga. Bibi sendiri, karena pisah dengan suaminya. Kalau bibi kerja, saya sendirian. Bibi kan tak mungkin libur bekerja, karena dia harus menghidupi dua anaknya. Saya sengaja tak memberitahu keluarga di kampung takut malah menambah beban pikiran orang tua. Lagian repot juga kalau minta mereka nungguin saya. Bagaimana untuk ongkos pulang perginya dan makannya.” “Asalkan mendapat satu atau dua juta tak masalah mbak. Saya sudah lega. Sebagai ganti jari-jari saya. Supaya saya tak terlalu lama menambah beban bibi saya juga.” Nilai yang disebutkan Dede, tak sebanding dengan kerugian yang ia tanggung selamanya. Juga rasa keadilan yang tak terwakili oleh nilai yang diatur dalam jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), sekitar tujuh juta. Apalagi, ditambah sikap pengusaha yang sekian lama mengabaikannya. Namun, realita terkadang tak selalu bisa sejalan dengan keadilan yang semestinya. Siang itu, saya dan Nur menunggu di sebuah warung makan depan gerbang pabrik tempat Dede bekerja. Kami mendapmpinginya untuk menemui manajemen agar Dede mendapatkan hak-haknya. Memasuki pintu gerbang, mulai terlihat pekerja yang berlalu lalang. Ada irisan-irisan seng bergulung dalam tumpukan. Serpihan besi-besi bertebaran. Dan pagar besi bercak oli di sana-sini. Beberapa pekerja tampak berdiri khidmat di mesinnya masing-masing. Di ruangan itu yang dominan suara bising. Tak sampai 30 menit kami berunding di sana. Ditemui oleh Darwin selaku pimpinan cabang perusahaan itu. Kata Darwin, PT Panca Logam melakukan pembelian limbah-limbah besi di seluruh Indonesia. Darwin mengatakan kalau ia siap memberikan hak-hak Dede sebagai pekerja. “Selain saya, teman-teman kerja saya juga mengalami kecelakaan. Malah ada yang jari-jarinya putus semua. Kalau lengan sobek, keiris, tergores itu sudah biasa dan sering terjadi di sana. Biasanya dibawa ke klinik untuk mendapat pengobatan dan jahitan,” tutur Dede sepulang dari sana. Ngomong-ngomong tentang klinik, Dede kembali terdiam. Wajahnya diliputi kekelaman. Ia menuturkan, ketika itu kata dokter jari yang satunya masih bisa diselamatkan. Tapi dokter memutuskan diamputasi, dan dia setuju saja, karena tak ada teman untuk minta pendapat. “Sehabis dipotong, setiap malam sakitnya luar biasa. Saya mengerang-erang, dan baru bisa tidur karena kecapekan. Tapi setelah sakitnya berkurang, yang saya pikirkan, bagaimana ke depannya. Membayangkan jari saya tak kembali. Dan membayangkan nanti bagaimana saya mencari pekerjaan lagi?” Kami hanya mengangguk, meski aku sendiri tak tahu mengangguk untuk apa. Aku minta ijin untuk memotret tangannya. Dan Dede memalingkan muka pada saat saya perlihatkan hasilnya. “Sampai sekarang saya suka merasa sangat kehilangan setiap melihat tangan saya. Kadang malam saya suka berpikir bahwa itu mimpi, dan saya bangun melihat jari saya, dan memang benar-benar sudah tak ada.” Hand guard atau footring, adalah benda yang tidak lagi asing. Ia menjadi bagian dari tabung gas yang digunakan sehari-hari. Apalagi saat pemerintah menjadikan gas untuk pengganti minyak tanah. Mau tidak mau, masyarakat menggunakan bahan bakar itu. Di balik hand guard itulah, sesungguhnya konsumen berhak mendapat informasi penting mengenai kelaikan, yang ironisnya itu jarang ditemukan. Belakangan, marak dalam pemberitaan jatuhnya korban-korban terkait tabung gas, akibat masyarakat tak mendapatkan standard kelaikan. Salah satu penyebabnya adalah, celah pada footring yang ditinggalkan akibat pengelasan yang tak rapi, hingga gas keluar saat api dinyalakan. Dede memang tak mengerjakan pengelasan itu. Dan ia, salah satu dari deretan nama-nama pekerja yang menjadi korban. Jakarta, 13 April 2010 (Oleh Siti Nurrofiqoh)